jam`

Jumat, 01 Agustus 2014

`[] biography dewi saraswati,...

Saraswati

Saraswati
Dewi pengetahuan, kesenian, kebijaksanaan, dan inspirasi


Dewanagari: सरस्वती
Ejaan Sanskerta: Sarasvatī
Golongan: Dewi
Pasangan: Brahma
Wahana: Angsa

Saraswati (Sanskerta: सरस्वती ;Sarasvatī) adalah salah satu dari tiga dewi utama dalam agama Hindu, dua yang lainnya adalah Dewi Sri (Laksmi) dan Dewi Uma (Durga). Saraswati adalah sakti (istri) dari Dewa Brahma, Dewa Pencipta. Saraswati berasal dari akar kata sr yang berarti mengalir. Dalam Regweda V.75.3, Saraswati juga disebut sebagai Dewi Sungai, disamping Gangga, Yamuna, Susoma dan yang lainnya.
Dalam agama Hindu
Saraswati adalah dewi yang dipuja dalam agama weda. Nama Saraswati tercantum dalam Regweda dan juga dalam sastra Purana (kumpulan ajaran dan mitologi Hindu). Ia adalah dewi ilmu pengetahuan dan seni. Saraswati juga dipuja sebagai dewi kebijaksanaan.
Dalam aliran Wedanta, Saraswati di gambarkan sebagai kekuatan feminin dan aspek pengetahuan — sakti — dari Brahman. Sebagaimana pada zaman lampau, ia adalah dewi yang menguasai ilmu pengetahuan dan seni. Para penganut ajaran Wedanta meyakini, dengan menguasai ilmu pengetahuan dan seni, adalah salah satu jalan untuk mencapai moksa, pembebasan dari kelahiran kembali.
Penggambaran
Dewi Saraswati digambarkan sebagai sosok wanita cantik, dengan kulit halus dan bersih, merupakan perlambang bahwa ilmu pengetahuan suci akan memberikan keindahan dalam diri. Ia tampak berpakaian dengan dominasi warna putih, terkesan sopan, menunjukan bahwa pengetahuan suci akan membawa para pelajar pada kesahajaan. Saraswati dapat digambarkan duduk atau berdiri diatas bunga teratai, dan juga terdapat angsa yang merupakan wahana atau kendaraan suci darinya, yang mana semua itu merupakan simbol dari kebenaran sejati. Selain itu, dalam penggambaran sering juga terlukis burung merak.
Dewi Saraswati digambarkan memiliki empat lengan yang melambangkan empat aspek kepribadian manusia dalam mempelajari ilmu pengetahuan: pikiran, intelektual, waspada (mawas diri) dan ego. Di masing-masing lengan tergenggam empat benda yang berbeda, yaitu:
Lontar (buku), adalah kitab suci Weda, yang melambangkan pengetahuan universal, abadi, dan ilmu sejati.
Ganitri (tasbih, rosario), melambangkan kekuatan meditasi dan pengetahuan spiritual.
Wina (kecapi), alat musik yang melambangkan kesempurnaan seni dan ilmu pengetahuan.
Damaru (kendang kecil).

Angsa merupakan simbol yang sangat populer yang berkaitan erat dengan Saraswati sebagai wahana (kendaraan suci). Angsa juga melambangkan penguasaan atas Wiweka (daya nalar) dan Wairagya yang sempurna, memiliki kemampuan memilah susu di antara lumpur, memilah antara yang baik dan yang buruk. Angsa berenang di air tanpa membasahi bulu-bulunya, yang memiliki makna filosofi, bahwa seseorang yang bijaksana dalam menjalani kehidupan layaknya orang biasa tanpa terbawa arus keduniawian.
Selain angsa, juga sering terdapat merak dalam penggambaran Dewi Saraswati, yang mana adalah simbol dari kesombongan, kebanggaan semu, sebab merak sesekali waktu mengembangkan bulu-bulunya yang indah namun bukan keindahan yang abadi.
Hari Raya
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Hari Raya Saraswati

Dewi Saraswati sebagai Dewi Ilmu Pengetahuan dan Seni, dirayakan oleh umat Hindu di Bali]], yang jatuh pada hari Saniscara (Sabtu) Umanis (Legi), wuku Watugunung. Perayaan ini dilaksanakan setiap 210 hari (atau 7 bulan menurut kalender Bali), sebagai penghormatan kepada dewi ilmu pengetahuan dan seni.
Hari Saraswati yang jatuh pada hari Sabtu (Saniscara) Umanis wuku Watugunung, dirayakan sebagai hari pawedalan Hyang Aji Saraswati, hari turunnya ilmu pengetahuan suci. Perayaan ini dilaksanakan sebagai ungkapan puji syukur dan puja kepadanya-Nya atas diturunkannya ilmu pengetahuan suci bagi umat manusia; disamping memohon kelanggengan ilmu pengetahuan dan dapat berjaya di bidang Iptek. Pada malam harinya, dilaksanakan “sambang samadhi” dan pembacaan lontar, pustaka, kitab-kitab suci dengan harapan dapat menemukan Saraswati di dalam diri.
Dewi Saraswati adalah Shakti dari Dewa Brahma, patheon Hindu sebagai personifikasi Hyang Widdhi dalam penciptaan. Didalam Weda, Dewi Saraswati disebut sebagai Dewi Kebijaksanaan dan Dewi Sungai. Dalam Purana dan Itihasa-lah Dewi Saraswati disebut-sebut sebagai Shakti dari Brahma.
Kata Saraswati berasal dari urat kata Sanskerta ‘sr’, yang berarti mengalir. Dalam Rg Weda V.75.3. beliau disebut sebagai Dewi Sungai, disamping Gangga, Yamuna, Susoma dan lain lain. Dalam pengarcaan (ikonografi), beliau digambarkan sebagai seorang Dewi cantik berkulit putih bersih, dengan prilaku yang lemah lembut. Busana putih gemerlapan dikenakan-Nya, bersinggasanakan padma (teratai). Beliau juga digambarkan bertangan 4, yang masing-masing memegang Wina (kecapi), Aksamala (tasbih), Damaru (kendang kecil), dan Pustaka suci.
Angsa (Hamsa) dan Merak seringkali menjadi wahana dan atribut simbolis dalam pengarcaan. Ia merupakan motif yang amat populer dalam tradisi simbolis Hindu. Ia dapat dilihat sebagai ragam hias, penghias lampu-lampu minyak yang digunakan di pura-pura, mandir-mandir dan di rumah-rumah penduduk India. Angsa, juga mempunyai keterkaitan yang khusus dengan filsafat Advaita, yang dicetuskan oleh Sri Sankaracarya. Para Guru Agung dalam tradisi Advaita juga disebut dengan Paramahamsa, para Angsa nan Agung.
Seperti juga angsa-angsa yang berenang seharian di telaga tanpa membasahi bulu-bulunya, demikian pula para Advaita-Vaidantin, diharapkan hidup biasa-biasa saja di dunia ini, namun tak terombang-ambing oleh pasang-surut duniawi. Ia juga melambangkan penguasaan Viveka yang baik serta Vairagya yang sempurna, angsa dapat memilih dan memilah serta menyarikan susu dari lumpur. Ini adalah substansi yang amat esensial bagi seorang Advaitin, oleh karenanya pula ia melambangkan ‘Jivanmukti’, beliau yang telah mencapai ‘Kebabasan Mutlak’ sementara masih dalam jasad manusia. Demikianlah Angsa, meyimbulkan kebijaksanaan dan pengetahuan suci, sedang merak melambangkan keindahan dan keangunan dari pengetahuan itu sendiri.
Sarasvati juga disebut dengan ‘Sarada’ (yang menganugrahkan sari kehidupan), ‘Wagisari’ (dewi kebijaksanaan dan wacana), ‘Bharati’ (kebudayaan luhur atau pelaksana tapa-brata yang sempurna) disamping ‘Brahmi’ (Shakti Brahma) dan Savitri serta sebutan lainnya.
Sebagai Dewi Wagisari, pada suatu ketika, beliau ditugaskan untuk mengalihkan permohonan Kumbhakarna – raksasa pertapa adik Rahwana – oleh sidang para dewa. Permohonan Kumbhakarna terlampau berat dan berlebihan bila dipenuhi, bagi ‘soroh’ Raksasa; pemenuhan itu dinyana dapat merusak konstelasi dan kedamaian semesta. Oleh karenanyalah Dewi Wagisari ditugaskan untuk mengalihkan permohonannya, melalui menempati lidah Kumbhakarna, ketika permohonannya disampaikan.
Menyimpang dari maksudnya semula, ketika saatnya ia menyampaikan permohonan kepada Brahma atas tapanya yang teguh, ia memohon: “Anugrahi hamba agar dapat tidur terus menerus selama bertahun-tahun”. Demikian dikisahkan dalam Ramayana, terkait dengan keberadaan Saraswati sebagai Dewi Kebijaksanaan dan juga Dewi Wacana.

Tanpa pengendalian yang baik atas tutur-kata kita, oleh Kebijaksanaan dan Kemurnian Nurani, apa yang kita ucapkan dapat berubah dari maksud semula. Tak jarang salah dalam bertutur kata dapat berbuah dendam, permusuhan bahkan malapetaka bagi kita. Sebaliknya, Savitri (juga nama lain dari Saraswati), titisan Saraswati sebagai seorang putri raja yang suaminya dalam keadaan sekarat menjelang ajal, berhasil meluluhkan hati Dewa Yama melalui wacana-wacana berpengetahuannya. Yama-pun tak punya pilihan lain kecuali mengabulkan segala permohonan Savitri.
Akhirnya, Setiavan – sang suami yang putra raja – itupun hidup kembali; mewarisi singgasana sebagai penerus dinasti orang tuanya lengkap dengan 100 orang putra, mertua Savitri memperoleh kembali kerajaannya yang hilang dan sembuh dari kebutaan yang dideritanya, dan orang tua Savitri-pun dianugrahi 100 orang putra guna meneruskan dinastinya. Itu dituturkan dengan cantiknya dalam Pativrata-Mahakamya Parva, salah-satu subparva dalam Vana Parva.
Banyu Pinaruh, Sublimasi Pengetahuan Suci.
Saraswati juga dimaknai dengan mengupayakan secara mandiri (swa) kesucian hati, melalui “Sambang-Samadhi” serta mempelajari (membaca dan melagukan) dan merenungkan ajaran-ajaran dalam pustaka-pustaka suci semalam suntuk.
‘Sambang Samadhi’, diduga merupakan pergeseran pelafalan dari ‘Samma/Samya Samadhi’, yang berarti ‘melaksanakan tapa-brata-yoga-semadi dengan baik dan benar’. Membaca pustaka suci semalam suntuk, lebih menyimbolkan mengamati (membaca) dengan cermat gerak hati sendiri (swa-hati), guna pensuciaannya serta penyelarasan antara pikiran dan ucapan. Upaya pensucian ini, lebih dipastikan dengan datangnya “Banyu Pinaruh” pada ke-esokan harinya.
Saraswati dan Banyu Pinaruh ibarat paket yang tak terpisahkan. Banyu, air, toya, tirta merupakan air suci yang merupakan intisari ‘pinaruh’, ‘pinaweruh’ atau pengetahuan batiniah. Dengan melaksanakan pensucian batin semalam suntuk melalu Samya Samadhi, serta disucikan dengan intisari pengetahuan suci (banyu pinaweruh), diharapkan tumbuh dan berkembangnya kebijaksanaan kita.
Jadi, dari rangkaian hari-hari Saraswati dan Banyupinaruh, diharapkan suatu pemaknaan serta disikapi dengan ‘melaksanakan tapa-brata-yoga-semadi dengan baik dan benar, guna mensucikan dan menselaraskan pikiran, ucapan dan perbuatan. Sadhana inilah yang memungkinkan saripati pengetahuan (Jñana) tersublimasi menjadi Kebijaksanaan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar