Aswatama
Aswatama dalam sebuah lukisan India.
Tokoh dalam mitologi Hindu
Nama: Aswatama
Nama lain: Droniyana; Acaryanandana; Acaryaputra
Aksara Dewanagari: अश्वत्थामा; अश्वत्थामन्
Ejaan Sanskerta: Aśvatthāmā; Aśvatthāman
Muncul dalam kitab: Mahabharata, Purana
Kediaman: Hastinapura
Kasta: Ksatriya
Profesi: Kesatria
Senjata: Brahmastra
Dalam
wiracarita Mahabharata, Aswatama (Sanskerta: अश्वत्थामा, Aśvatthāmā)
atau Ashwatthaman (Sanskerta: अश्वत्थामन्, Aśvatthāman) adalah putra
Drona dengan Krepi. Sebagai putra tunggal, Drona sangat menyayanginya.
Ia juga merupakan salah satu dari tujuh Ciranjīwin, karena dikutuk untuk
hidup selamanya tanpa memiliki rasa cinta. Saat perang di Kurukshetra
berakhir, hanya ia bersama Kertawarma dan Krepa yang bertahan hidup.
Oleh karena dipenuhi dendam atas kematian ayahnya, ia menyerbu kemah
Pandawa saat tengah malam dan melakukan pembantaian membabi buta.
Kemunculan tokoh Aswatama jarang muncul dalam kitab Mahabharata.
Kisahnya yang terkenal adalah pembunuhan terhadap lima putera Pandawa
dan janin yang dikandung oleh Utari, istri Abimanyu. Janin tersebut
berhasil dihidupkan kembali oleh Kresna, namun lima putera Pandawa tidak
terselamatkan nyawanya
Masa muda dan pendidikan
Aswatama merupakan putera dari pasangan Bagawan Drona dengan Kripi,
adik Krepa dari Hastinapura. Saat kecil keluarganya hidup misikin, namun
mengalami perubahan setelah Drona diterima sebagai guru di istana
Hastinapura. Ia mengenyam ilmu militer bersama dengan para pangeran
Kuru, yaitu Korawa dan Pandawa. Kekuatannya hampir setara dengan Arjuna,
terutama dalam ilmu memanah.
Pertempuran di Kurukshetra
Saat perang di antara Pandawa dan Korawa meletus, ia memihak kepada
Korawa, sama dengan ayahnya, dan berteman dengan Duryodana. Untuk
membangkitkan semangat pasukan Korawa setelah dipukul mundur, ia
memanggil senjata Narayanastra yang dahsyat. Mengetahui hal tersebut,
Kresna membuat sebuah taktik dan karenanya senjata itu berhasil diatasi.
Ia juga memanggil senjata Agneyastra untuk menyerang Arjuna, namun
berhasil ditumpas dengan senjata Brahmastra. Pertarungannya dengan Bima
dalam Bharatayuddha berakhir secara “skakmat”.
Kabar angin yang salah mengenai kematiannya dalam perang di
Kurukshetra membuat ayahnya meninggal di tangan pangeran Drestadyumna
dari kerajaan Panchala. Aswatama yang menaruh dendam mendapat izin dari
Duryodana untuk membunuh Drestadyumna secara brutal setelah perang
berakhir secara resmi. Saat akhir peperangan, Aswatama berjanji kepada
Duryodana bahwa ia akan membunuh Pandawa, dan menyerang kemah Pandawa
saat tengah malam, namun karena kesalahan ia membunuh lima putera
Pandawa dengan Dropadi (Pancawala).
Pandawa yang marah dengan perbuatan tersebut memburu Aswatama dan
akhirnya ia bertarung dengan Arjuna. Saat pertarungan, Aswatama
memanggil senjata ‘Brahmastra’ yang sangat dahsyat, yang dulu ingin
ditukar dengan cakra milik Kresna namun tidak berhasil. Dengan senjata
itu ia menyerang Arjuna dan Arjuna membalasnya dengan mengeluarkan
senjata yang sama. Takut akan kehancuran dunia, Bhagawan Byasa menyuruh
agar kedua kesatria tersebut menarik senjatanya kembali. Sementara
Arjuna berhasil melakukannya, Aswatama (yang mungkin kurang pintar)
tidak bisa melakukannya dan diberi pilihan agar senjata menyerang target
lain untuk dihancurkan. Dengan rasa dendam, Aswatama mengarahkan
senjata menuju rahim para wanita di keluarga Pandawa. Di antara mereka
adalah Utara, menantu Arjuna.
Kutukan bagi Aswatama
Setelah Aswatama mengarahkan Brahmastra menuju perut Utara yang
sedang mengandung, senjata itu berhasil membakar janin Utara, namun
Kresna menghidupkannya lagi dan mengutuk Aswatama agar menderita kusta
dan mengembara di bumi selama 6.000 tahun sebagai orang buangan tanpa
rasa kasih sayang. Dalam versi lain, dipercaya bahwa ia dikutuk agar
terus hidup sampai akhir zaman Kaliyuga. Legenda mengatakan bahwa
Aswatama pergi mengembara ke daerah yang sekarang dikenal sebagai
semenanjung Arab. Ada juga legenda yang mengatakan bahwa Aswatama masih
mengembara di dunia dalam wujud badai dan angin topan. Sebuah benteng
kuno di dekat Burhanpur, India, yang dikenal dengan Asirgarh memiliki
kuil Siwa di puncaknya. Konon setiap subuh, Aswatama mengunjungi kuil
tersebut untuk mempersembahkan bunga mawar merah. Masyarakat yang
tinggal di sekitar benteng mencoba untuk menyaksikannya namun tidak
pernah berhasil. Konon orang yang bisa menyaksikannya akan menjadi buta
atau kehilangan suaranya. Di Gujarat, India, ada Taman Nasional Hutan
Gir yang dipercaya sebagai tempat Aswatama mengembara dan konon ia masih
hidup di sana sebagai seorang Chiranjiwin.
Menurut legenda, Aswatama menyerahkan batu permata berharga (Mani)
yang terletak di dahinya, yaitu permata yang membuatnya tidak takut
terhadap segala senjata, penyakit, atau rasa lapar, dan membuatnya tak
takut terhadap para Dewa, danawa, dan naga.
Aswatama dalam pewayangan Jawa
Sosok Aswatama versi pewayangan Jawa.
Riwayat hidup Aswatama dalam pewayangan Jawa memiliki beberapa
perbedaan dengan kisah aslinya dari kitab Mahabharata yang berasal dari
Tanah Hindu, yaitu India, dan berbahasa Sanskerta. Beberapa perbedaan
tersebut meliputi nama tokoh, lokasi, dan kejadian. Namun perbedaan
tersebut tidak terlalu besar sebab inti ceritanya sama.
Riwayat
Aswatama adalah putra Bhagawan Drona alias Resi Drona dengan Dewi
Kripi, puteri Prabu Purungaji dari negara Tempuru. Ia berambut dan
bertelapak kaki kuda karena ketika awal mengandung dirinya, Dewi Krepi
sedang beralih rupa menjadi kuda sembrani, dalam upaya menolong Bambang
Kumbayana (Resi Drona) terbang menyeberangi lautan. Aswatama berasal
dari padepokan Sokalima dan seperti ayahnya, ia memihak para Korawa saat
perang Bharatayuddha. Ketika ayahnya menjadi guru Keluarga Pandawa dan
Korawa di Hastinapura, Aswatama ikut serta dalam mengikuti pendidikan
ilmu olah keprajuritan. Ia memiliki sifat pemberani, cerdik dan pandai
mempergunakan segala macam senjata. Dari ayahnya, Aswatama mendapat
pusaka yang sangat sakti berupa panah bernama Panah Cundamanik.
Aswatama Gugat
Pada perang Bharatayuddha, Drona gugur karena terkena siasat oleh
para Pandawa. Mereka berbohong bahwa Aswatama telah gugur, tetapi yang
dimaksud bukan Aswatama manusia, melainkan seekor gajah yang bernama
Hestitama (Hesti berarti “Gajah”) namun terdengar seperti Aswatama. Lalu
Drona menjadi putus asa setelah ia menanyakan kebenaran kabar tersebut
kepada Yudistira yang dikenal tak pernah berbohong. Aswatama merasa
kecewa dengan sikap Duryodana yang terlalu membela Salya yang dituduhnya
sebagai penyebab gugurnya Karna. Aswatama memutuskan untuk mundur dari
perang Bharatayudha. Setelah Perang Bharatayuda berakhir dan keluarga
Pandawa pindah dari Amarta ke Hastinapura, secara bersembunyi Aswatama
masuk menyelundup ke dalam istana Hastinapura. Ia berhasil membunuh
Drestadyumna (pembunuh ayahnya), Pancawala (putera Puntadewa alias
Yudistira), Banowati (Janda Duryodana) dan Srikandi. Diceritakan bahwa
akhirnya ia mati oleh Bima, karena badannya hancur dipukul Gada
Rujakpala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar